Ketika pertolongan mengharapkan pamrih, ketika bantuan hanya untuk kelompok tertentu, ketika belas kasih hanya khusus untuk golongannya. Awalnya manis, memberikan bantuan dengan tampang ikhlas, ridho dan rendah hati, tapi lambat laun pamrih menerjang segala bentuk keridhoan.Menghapuskan keikhlasan (katanya) yang ada.

Perih kembali membahana, mewabah kaum kecil dan rakyat jelata, kaum yang serba kekurangan dan kesusahan. Yang hanya diperah tenaganya tanpa perimbangan balas jasanya. Tak dipedulikan saat memelas mengharapkan kasih, terombang ambing dalam kebimbangan, terkoyak-koyak dalam keresahan terlarut dalam cairan kebingungan.
Mereka berjaya bersama habitatnya, bersama-sama mengenyangkan perut-perut mereka sambil tertawa tanpa menghiraukan sekelilingnya, tanpa melirik disebuah sudut tempat dimana manusia fakir sekarat menghiba..huh.. sungguh miris. Bagaikan gedung megah berlantai 100 ditengah pemukiman kumuh penuh sampah. Tanpa menyadari bahwa yang mereka makan merupakan kucuran keringat dari kaum papa.
Dimana arti keikhlasan?, dimana gurat wajah keridhoan, dimana yang disebut sang dermawan gelar yang selama ini tersandang sebagai jubah kebanggaan. Ternyata fiktif, merek bagai sang aktor dalam sebuah pentasan drama atau sinetron ditelevisi. ketika keluar pentas tampaklah wajah dan tabiat asli mereka yang penuh dengan aroma kemunafikan, Riya, ular kepala dua, sang duplikator, bahkan plagiat. Mereka pandai berakting, bermulut manis, tapi hati lebih busuk daripada bangkai.
Ternyata ikhlas itu mudah diucapkan tapi sulit dilakukan,bahkan haram untuk manusia-manusia seperti mereka. Dan bagi mereka ikhlas itu suatu barang yang harus dibayar dengan harga yang Mahal.