Pagi ini, saat aku membuka-buka folder dan file-file dalam komputer kantorku, tak sengaja aku menemukan folder bernama “lawas”, setelah kubuka ternyata isinya lagu-lagu berformat mp3 yang memang berisikan lagu-lagu lawas, entah itu dari dalam negeri maupun luar pager…eh.. luar negeri.
Arya menatap nanar surat daun lontar dihadapannya.Surat keputusan itu ia dapatkan Sepulang dari rapat para punggawa kerajaan, dan dia nampak gusar. Ketidakpuasan terpancar dari wajahnya. Sang istripun bertanya ada apa gerangan sehingga membuat suaminya itu gusar. Arya pun bercerita,
Dengan adanya ketidakpastian dan ketiadaan sejumlah hal yang pasti, maka bagaimana arah yang mungkin terjadi?
Ketika pertolongan mengharapkan pamrih, ketika bantuan hanya untuk kelompok tertentu, ketika belas kasih hanya khusus untuk golongannya. Awalnya manis, memberikan bantuan dengan tampang ikhlas, ridho dan rendah hati, tapi lambat laun pamrih menerjang segala bentuk keridhoan.Menghapuskan keikhlasan (katanya) yang ada.
Masih perlukah air mata
Untuk menangisi dunia
Yang selalu dilanda bencana
Macam-macam malapetaka
Gempa bumi banjir badai topan
Yang selalu membawa korban
Dan juga ganasnya peperangan
Yang menghantui kehidupan
Baca lebih lanjut
Siang itu…
Nada sms berdering, kubaca beritanya membuat jantungku berdetak, kakiku lemas, mendadak aku tak bersemangat untuk melakukan aktivitas apapun. Rasa malas dan tak bersemangat menghinggap. Hanya doa yang aku kumandangkan, bibirku tak berhenti komt-kamit membaca mantra yang diambil dari Al-Qur’an, Hadits, dan sholawat Nabi ajaran dari guru ngajiku dulu. Walau badanku lemas tapi kupaksakan jiwaku untuk tetap kuat berdoa dan memohon semoga kejadian yang tak dapat kubayangkan tidak terjadi.
Apa jadinya jika dua hati tidak mau saling mengerti, apa jadinya jika dua jiwa saling menyalahkan, tak ada introspeksi, yang ada hanya pembenaran sepihak, dan tak ada kata saling mengalah.
Jika hati berontak, logika tak berjalan, emosi yang bermain, menggolak, menggelegak, bak tsunami setelah gempa.
Perasaan kecewa berkecamuk, rasa menyalahkan berbalik menjadi rasa bersalah yang teramat dalam, tapi keegoisan menerjang, memporak porandakan segala kesadaran dan kesahajaan yang ada, mematikan kebesaran hati, merusak kesabaran diri.
Kedewasaan terlupakan, masa tua tak lagi menjadi ukuran, sadar diri tak lagi punya arti. Hanya ke aku-an yang meradang. memusnahkan segala kebaikan yang telah direncanakan untuk membangun sebuah puing kejayaan.
Apa jadinya?